Jakarta -Setelah melangsungkan pernikahan, tentunya setiap pasangan pasti akan mempunyai mertua dari pasangannya.
Layaknya orang baru, tentunya mertua akan memiliki rasa tidak suka terlebih dahulu terhadap menantu.
Lantas, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Menurut journal.unika.ac.id, dari sisi tinjauan psikologis, hubungan yang ambigu antara menantu dan mertua bisa diakibatkan oleh menantu yang sulit beradaptasi dengan aturan-aturan dari mertua, kurangnya komunikasi antar mertua dan menantu, dan kebingungan peran dari menantu ketika berada di depan mertua.
Dilansir dari repsitory.usd.ac.id, di dalam budaya Indonesia sendiri menganut konsep keluarga yang tidak terbatas hanya pada hubungan darah, tetapi juga adanya pelebaran hubungan seperti proses pernikahan, hasil dari pelebaran ini memiliki status sebagai ‘menantu’ dan ‘mertua’.
Pada dasarnya, hubungan antar keduanya memiliki pengaruh satu sama lain, ditambah lagi jika keduanya berada di atap yang sama.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di Asia, menemukan bahwa sebanyak 55 persen menantu di Vietnam dan 42 persen menantu di Taiwan masih tinggal bersama ibu mertuanya.
Hal ini menyebabkan keduanya memiliki hubungan ambivalensi.
Dikutip dari KBBI, ambivalensi adalah perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama.
Hal ini menyebabkan menantu dan mertua memiliki kedekatan hubungan dan juga permusuhan dalam waktu yang sama.
Di dalam repsitory.usd.ac.id, juga menjelaskan bahwa hubungan ambivalensi antara menantu dan mertua seperti hubungan dalam keluarga yang dekat seperti ibu dan anak, tetapi secara bersamaan juga mereka terjebak dalam situasi seperti dua orang asing.
Menurut journal.unika.ac.id, menjelaskan bahwa di hadapan mertua, menantu dituntut untuk menjadi pasangan, orang tua dan anak sekaligus setiap hari.
Kerancuan peran ini diperparah dengan aturan-aturan dari mertua yang mengekang menantu tersebut.
Sehingga menantu memiliki kebingungan atas peran yang ia emban di depan mertua.
Berdasarkan sebuah penelitian pada 2006, menemukan bahwa pada sejumlah pasangan dengan usia pernikahan di bawah sepuluh tahun, ditemukan beberapa masalah yang diakibatkan campur tangan dari mertua dan terhambatnya proses penyesuaian dari menantu.
Selanjutnya, menurut hasil penelitian Sweat pada 2011, menemukan bahwa 60 persen pasangan suami istri mengalami ketegangan hubungan dengan emrtua, yaitu antara menantu perempuan dengan ibu mertua dia.
Fenomena ini muncul karena lambatnya penyesuaian gaya hidup, aturan, dan karakteristik dari mertua kepada menantunya.
Pada saat awal pernikahan, perempuan dituntut untuk cepat beradaptasi dengan hal-hal tersebut serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai istri, menantu, dan juga anak.
Selain itu, fenomena ini terjadi akibat interaksi personal, yaitu ketika menantu tidak terbiasa dengan pola asuh mertua kepada anak, mengurus rumah, dan hal-hal lain yang oleh ibu mertua turut ikut campur.
Berdasarkan penelitian pada 2012, juga menemukan bahwa penyesuaian dari istri yang tanggap juga menunjukkan hasil yang baik terhadap respon mertua kepadanya.
Sehingga, ketika seorang istri dapat dengan baik menyesuaikan diri dengan kondisi mertuanya, maka keluarga yang dibangunnya dapat menjadi semakin harmonis.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan inilah yang membuat pasangan suami-istri harus saling mengerti, memahami, dan menyesuaikan diri pada kondisi mertua setelah pernikahannya.
Penyesuaian yang baik dapat berdampak pada keberhasilan serta keharmonisan rumah tangga.